Surabaya
: Dapur Nasionalisme[1]
Oleh
: Akbar Kurnianto
Tulisan
ini akan membahas terkait kehidupan presiden republic Indonesia pertama,
Soekarno saat Soekarno hidup di kota Surabaya. Dan salah satu hal yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana kehidupan sosial soekarno pada saat itu dan
seberapa besar pengaruh tempat tinggalnya saat itu terhadap pengetahuan
politiknya ? Pada bab ini. Cindy Adams membahas secara kehidupan presiden
pertama kala itu saat bertempat tinggal bersama H.O.S Tjokroaminoto, kehidupan
sekolahnya dan juga kehidupannya kala berorganisasi.
Soekarno
yang Menumpang
Kala itu, Soekarno tinggal
disurabaya, lebih tepatnya “menumpang” tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto
semata – mata karena beliau ingin bersekolah di H.B.S[2].
Walaupun Tjokroaminoto merupakan kawan bapaknya Soekarno, namun hal tersebut
bukan menjadi alasan bagi Soekarno untuk mendapat kemewahan disana. Disana
Soekarno tinggal di kamar sempit yang tak berpintu juga tak berjendela. Namun
kamar tersebut bukan menjadi kerangkeng bagi berkembangnya pemikiran Soekarno.
Tinggalnya Soekarno dengan
Tjokroaminoto membawakan anugrah tersendiri bagi Soekarno. Karena secara tidak
langsung, Soekarno mendapat pembelajaran tersendiri dari Ketua Sarekat Dagang
Islam kala itu. Berikut kutipan perlakuan Tjokroaminoto kepada Soekarno :
“Pak
Tjokro mengajarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui
ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan
cita‐cita
tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Tjokro adalah
pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku.”
Walaupun didikan Tjokroaminoto tidak di dominasi
oleh dominan langsung, tetapi tjokroaminoto menghidupkan pikiran Soekarno
menggunakan buku – buku yang diberikan kepadanya. Buku – buku yang dibacanya
banyak yang merupakan karangan asing. Seperti buku karangan Thomas Jefferson, Karl Marx, Friedrich
Engles, Lenin J.J Rousseau dan masih banyak lagi. Kehidupan soekarno kala
itu ia habiskan untuk mebaca, berbeda dengan anak seumurannya kala itu yang
dominan menghabiskan waktunya untuk bermain.
Bukan hanya itu saja, kehidupan
Soekarno pada saat tinggal di rumah Tjokroaminoto juga diwarnai dengan
kesempatan beliau bertemu dengan orang – orang hebat yang dekat dengan
Tjokroaminoto pada saat itu. Banyak dari pemimpin dari partai lain atau
pemimpin cabang Sarekat Islam datang bertamu ke kediaman Tjokroaminoto kala
itu. Dan momen itu pun tidak di sia – siakan Soekarno begitu saja, hal itu
dapat terlihat dari kutipan berikut ini :
“Disaat inilah aku bertanya
pelahan, "Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?",
"Anak ini sangat ingin tahu," senyum Pak Tjok, kemudian menambahkan,
"De Vereenigde Oost Indische Compagnie menyedot — atau mencuri— kira kira 1800
juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag.
"Apa yang tinggal di negeri kita?" kali ini aku bertanya lebih keras
sedikit. "Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan
makanan segobang sehari," kata Alimin, yaitu orang yang memperkenalkanku
kepada Marxisme. "Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara
bangsa‐bangsa," sela kawannya yang bernama
Muso. "Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan
mosi‐mosi kepada Pemerintah,"
kata Pak Tjok menerangkan dan kelihatan senang karena mempunyai murid yang begitu
bersemangat.”
Soekarno dalam H.B.S
H.B.S mempunyai 300 orang murid dan
hanya 2 murid saja yang merupakan Inlanders, Soekarno salah satunya. Hal ini
tentunya membuatnya dikelilingi oleh para bangsa belanda yang tentunya tidak
suka dengannya.
Bisa dibilang, perlakuan anak – anak
belanda kala itu sangat buruk terhadap Soekarno. Tak jarang Soekarno pun baku
hantam dengan anak – anak belanda kala itu. Dan bahkan hamper setiap hari
Soekano pulang babak belur.
Perlakuan anak – anak belanda
terhadap Soekarno kala itu tidak membuat semangat mencari ilmu Soekarno kala
itu menjadi surut. Dan Bahkan bisa dikatakan, Soekarno merupakan anak yang
cukup berprestasi kala itu, walaupun hal itu tidak mendapat pengakuan yang
cukup di mata orang Belanda. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut :
“Di
tahun kedua kami disuruh menggambar kandang anjing. Sementara yang lain masih
mengukur‐ukur
dan menaksir‐naksir
dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang yang lengkap, di dalamnya
seekor anjing yang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami
memperlihatkan gambarku kepada seluruh kelas. Ia mengatakan, "Gambar ini
begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai yang setinggi
mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka yang paling tinggi itu? Tidak.”
Soekarno dengan Perkumpulannya
Indonesia, tidak terlepas Surabaya,
kala itu merupakan daerah yang dihuni oleh kaum pribuma dan kaum penjajah. Hal
tersebut menjadikan terbentuknya dinding pemisah peradaban yang kasap mata kala
itu. Dalam kutipan buku berikut terlihat bagaimana perbedaan kehidupan antara
kaum belanda dengan kaum pribumi :
“Aku
berjalan‐jalan
seorang diri dan merenungkan tentang apa yang sedang berputar dalam otakku.
Satu jam lamanya aku berdiri tak bergerak di atas jembatan kecil yang melintasi
sungai kecil dan memandangi iring‐iringan
manusia yang tak henti‐hentinya.
Aku melihat rakyat tani dengan kaki ayam berjalan lesu menuju pondoknya yang
buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mencekam di atas kereta terbuka
yang ditarik oleh dua ekor kuda yang mengkilat. Aku melihat keluarga orang
kulit putih kelihatan bersih bersih,sedang saudara‐saudaranya yang berkulit sawo
matang begitu kotor, badannya berbau, bajunya compang‐camping, anak‐anak mereka jorok‐jorok.”
Hal ini menjadikan Soekarno menaruh
prihatin yang amat besar terhadap bangsanya dan menaruh kebencian yang amat
dalam terhadap kaum penjajah. Dan hal inilah yang merupakan bibit nasionalisme
yang amat besar yang tertanam dalam diri Soekarno. Bibit ini terus berkembang
dan menancapkan akarnya kuat kuat ke dalam hatinya dan mengembangkan ranting
serta dedaunnya yang lebat dalam pikirannya.
Pada umur 16 tahun, soekarno mulai
melangkahkan kakinya dalam dunia politik. Hal itu ditandai dengan pendirian
perkumpulan politiknya yang pertama, yaitu Tri
Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci” dan melambangkan kemerdekaan
politik, ekonomi dan sosial. Yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java[3].
Dan dari kegiatannya dalam
perkumpulannya inilah kecintaan Soekarno terhadap tanah air makin terpupuk
padatnya. Begitu juga dengan pengetahuan politiknya. Dengan masuknya Soekarno
dalam keanggotaan sebuah organisasi atau perkumpulan, Soekarno pun makin dikenal
oleh banyak orang. Dan hal itu menjadikan Soekarno memiliki relasi yang cukup
kuat.
Dari paparan tulisan ini, kita dapat
melihat bahwa benar adanya kalau Surabaya dikatakan sebagai “Dapur Nasionalisme”. Perbedaan
perlakuan yang amat jelas terlihat antara kaum pribumi dan penjajah,
kehidupannya bersama petinggi bangsa dan juga kehidupannya semasa sekolah
adalah racikan yang pas untuk digodoknya semangat Nasionalisme dalam diri
Soekarno.
[1] Tulisan ini merupakan rangkuman
serta hasil bacaan dari buku “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy
Adams. Pembahasan lengkap dapat dilihat pada bab 4 di dalam buku tersebut.
Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi pada sekolah politik tanggal 25
oktober 2016
[2] Hogere Burger School adalah pendidikan menengah umum pada
zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda.
[3] TKD
berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni, 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan di Solo, yang dimaksudkan untuk bisa merangkul
para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali.