Baru – baru ini publik dihebohkan dengan adanya aksi besar –
besaran umat islam untuk mendesak dipenjarakannya Basuki Tjahja Purnama atau
kerap disapa Ahok. Aksi yang dihadiri oleh ratusan ribu umat islam, yang
katanya juga hampir sepadan dengan aksi tahun 98. Aksi yang katanya ditunggangi
oleh kepentingan politik semata. Yang pastinya, aksi yang penuh dengan pro
kontra. Karna sejatinya jalan juang itu memanglah demikian terjalnya.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritik aksi yang dilakukan
oleh umat islam tersebut. Ataupun dibuat untuk hanya sekedar membangun opini
yang baik/buruk tentang aksi tersebut. Tapi tulisan ini dibuat kala hati ini
tersentil dengan sikap presiden yang dalam menghadapi aksi tersebut malah
terkesan “lari” dari rakyatnya yang sedang membutuhkan sosok sang “ayah”.
Kala itu pastinya publik sedang ramai – ramainya mengikuti
“live report” tentang aksi yang diikuti oleh ulama ulama besar kala itu. Banyak
pemberitaan yang berseliweran baik di media telivisi maupun media elektronik
lainnya. Mulai dari aksi yang berlangsung damai, orasi – orasi yang disampaikan
oleh tokoh – tokoh penting, hingga pada kerusuhan yang identic dipersembahkan
oleh kaum provokator. Namun ada pemberitaan yang menggelitik atau bahkan
menusuk hati ini. Yaitu kala mengetahui bapak nomor satu di Indonesia “lari”
dari massa aksi yang kala itu sudah memenuhi area depan istana.
Kala itu presiden menghindar dari kejaran massa aksi
dilandaskan akan pengecekan salah satu proyek. Wajar saja, menurut salah satu
media berita online presiden kita ini dijuluki sebagai “presiden pertama di dunia
yang mengecek detil proyeknya”. Meskipun seharusnya atas dasar alasan apapun
tindakan presiden ini tidak bisa dibenarkan. Mungkin terkecuali atas dasar
alasan dukacita (padahal massa aksipun sedang berdukacita akan permasalahan
yang mereka hadapi).
Peristiwa absennya presiden untuk menemui rakyat yang telah
susah payah mendatanginya inipun bukan hanya terjadi sekali. Sedikit membuka
luka lama, kala 20 Oktober mahasiswa yang hendak bertemu sang “bapak” namun
mendapat penolakan dari pihak istana. Naasnya, ternyata presiden kala itu ada
di dalam Istana dan malamnya presiden melakukan pertemuan dengan beberapa
kepala daerah.
Entah fenomena apa yang terjadi di negeri tercinta ku ini.
Ada rakyatnya yang sedang melarat namun kekayaan alamnya terus dibawa ke dunia
barat. Ada pedang kecil yang sedang berebut lapak dengan satpol PP namun ada
juga kaum kapitalis yang berebut batu bara, minyak bumi bahkan proyek tanah
yang mengapung diatas laut. Dan bahkan keadaan negeri ini diperparah juga
dengan matinya hati nurani para pemimpin kita, tak terlepas presiden kita.
Entah sampai kapan fenomena ini terus berlanjut. Entah sampai
kapan pembungkaman serta penolakan aspirasi rakyat akan berlanjut. Ini semua
tak ubahnya sebuah gunung yang akan meletus. Ia meletus karena lubang
kepundannya tersumbat, ia meletus karena tidak ada jalan bagi kekuatan –
kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Sama halnya dengan kondisi
bangsa kita sekarang ini. Mungkin suatu saat hal serupapun akan terjadi jika
kondisi ini terus berlanjut. Dan diri inipun terus berharap dan berdoa semoga
hal itu tidak terjadi.
Memang mencintai Indonesia itu sulit. Aku harus mencintai
segala sesuatu yang terkandung didalamnya. Tanahnya, airnya, keberagamannya
bahkan hingga luka – lukanya. Dan kini aku tersadarkan bahwa negeriku diambang
batas kehancuran. Hancur karena matinya hati nurani para pemimpin.
No comments:
Post a Comment