Tak kurang dari
beberapa hari lagi, UNJ akan memasuki babak baru dalam lembar kegiatan
akademiknya. Hari yang mungkin ditunggu – tunggu oleh sebagian orang, namun tak
sedikit pula yang masih ingin untuk mengulur datangnya hari tersebut. Yaitu
hari pertama perkuliahan semester 106.
Euforia pun pastinya
berdatangan dalam rangka menyambut semester genap yang sebentar lagi akan kita
jumpai. Mulai dari rasa kangen antar sesama teman sekelas yang sudah dipisahkan
oleh lamanya waktu liburan atau bahkan rasa kangen untuk hanya sekedar
nongkrong pada tempat favorit dikampus. Tak sampai disitu saja, nampaknya euforia
pun datang dari para kaum organisatoris kampus.
Sudah selayaknya bahwa
tongkat estafet kepemimpinan dipergilirkan dari generasi ke genarasi. Tak
terlepas, tongkat kepemimpinan dalam mengelola organisasi. Ya, itupun yang
sekarang ini atau bahkan sejak awal tahun 2017 sedang dirasakan oleh para
organisatoris kampus.
Momentum awal
perkuliahan nampaknya menjadi momentum yang paling ditunggu – tunggu bagi
mereka yang mencari kader – kader yang akan membersamai mereka dalam berjuang pada
organisasi masing – masing. Tak pelik, inipun menjadi bahan perbincangan
hangat, khususnya bagi para mahasiswa baru yang haus akan penjelajahan
intelektualnya.
Tentunya para mahasiswa
akan saling bertanya satu sama lainnya, “eh lu daftar ini ga? Eh lu udah
nyiapin berkas belom? Eh nanti wawancara ditanyain apa aja ya?”. Tentunya
pertanyaan – pertanyaan itupun tidak hanya dirasakan oleh para mahasiswa baru,
para mahasiswa yang sudah lebih dulu merasakan penjelajahan intelektual
dikampus pun juga merasakannya, tak terlepas penulis.
Yaaa… memang inilah
yang menjadi keresahan bagi sebagian mahasiswa, tidak terlepas penulis. Namun
ternyata, maraknya oprek sana – sini nampaknya menimbulkan “eksklusifitas”
tersendiri bagi mereka yang berambisi untuk mewujudkan keinginnya bergabung
organisasi. Sehingga hal itupun membuat sebagian orang enggan untuk mengikuti
jalan yang serupa.
Tak jarang, mereka yang
memilih untuk tidak mengikuti jalan yang serupa dengan rekannya tersebut (re:
organisatoris) dicap sebagai mahasiswa “kupu – kupu” dan dipandang sebelah
mata. Lantas apakah mereka salah? apakah tidak menjadi mahasiswa organisatoris
salah? Apakah menjadi mahasiswa kupu – kupu itu salah?
Pada konteks
permasalahan ini, penulis mencoba untuk mengingatkan pembaca bahwasanya kita
harus senantiasa menanamkan sikap husnudzon dalam diri kita. Bukan berarti
ketika kita memiliki teman yang hanya “hidup” diruang perkuliahan saja itu berarti
mereka “mati” diluar ruang perkuliahan. Bisa saja, nyatanya mereka akan lebih “hidup”
diluar sana namun kehidupannya tidak nampak oleh kita. Itulah analogi yang coba
dipaparkan oleh penulis.
Pada dasarnya tidak
semua mahasiswa kupu – kupu itu tidak memiliki agenda lain selain kuliah. Bisa saja
mereka nyatanya menjadi seorang entrepreneur diluar sana atau bahkan menjadi
aktivis di lingkungan rumahnya atau bahkan mereka adalah pemburu pundi – pundi rezeki
untuk menopang finansial perkuliahannya. That’s the point. “Menjadi kupu – kupu adalah pilihan, namun produktif merupakan
keharusan!”.
Pada dasarnya, semangat
produktivitaslah yang harus ditanamkan kepada seluruh mahasiswa. Bahwasanya
kehidupan tidak seindah pun tidak hanya serumit dalam ruang perkuliahan saja.
Nyatanya kehidupan jauh lebih kompleks dari sekedar membuat karya tulis atau
bahkan presentasi semata.
Jika ingin menjadi
organisatoris, jadilah organisatoris yang tidak apatis! Jika ingin menjadi
aktivis, jadilah aktivis yang humanis ! Jika ingin menjadi akademisi, jadilah
akademisi yang berprestasi ! Jadilah apapun semaumu selama itu bermanfaat. Namun
tidak menjadi apa – apa bukanlah suatu jawaban apalagi impian.
Setiap impian merupakan
pilihan. Setiap pilihan mengandung resikonya tersendiri. Menjadi organisatoris
memiliki resiko akademis yang cukup dilematis karena kepadatan waktunya. Tidak
menjadi organisatoris/aktivis (re: kupu – kupu) pun memliki resikonya
tersendiri, diantaranya keberadaannya tidak dirasakan. Namun itu semua tidaklah
salah.
Menjadi mahasiswa kupu –
kupu dan menggelorakan kiprahmu diluar sana itu semua pilihanmu. Namun,
alangkah lebih baik sebelum kita berenang dilautan lepas dengan ombak yang
ganas, bukankah lebih baik kita berenang dikolam dengan air yang lebih tenang
terlebih dahulu? J