Sunday 20 November 2016

Surabaya : Dapur Nasionalisme[1]

Oleh : Akbar Kurnianto
Tulisan ini akan membahas terkait kehidupan presiden republic Indonesia pertama, Soekarno saat Soekarno hidup di kota Surabaya. Dan salah satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kehidupan sosial soekarno pada saat itu dan seberapa besar pengaruh tempat tinggalnya saat itu terhadap pengetahuan politiknya ? Pada bab ini. Cindy Adams membahas secara kehidupan presiden pertama kala itu saat bertempat tinggal bersama H.O.S Tjokroaminoto, kehidupan sekolahnya dan juga kehidupannya kala berorganisasi.
Soekarno yang Menumpang
            Kala itu, Soekarno tinggal disurabaya, lebih tepatnya “menumpang” tinggal di kediaman H.O.S Tjokroaminoto semata – mata karena beliau ingin bersekolah di H.B.S[2]. Walaupun Tjokroaminoto merupakan kawan bapaknya Soekarno, namun hal tersebut bukan menjadi alasan bagi Soekarno untuk mendapat kemewahan disana. Disana Soekarno tinggal di kamar sempit yang tak berpintu juga tak berjendela. Namun kamar tersebut bukan menjadi kerangkeng bagi berkembangnya pemikiran Soekarno.
            Tinggalnya Soekarno dengan Tjokroaminoto membawakan anugrah tersendiri bagi Soekarno. Karena secara tidak langsung, Soekarno mendapat pembelajaran tersendiri dari Ketua Sarekat Dagang Islam kala itu. Berikut kutipan perlakuan Tjokroaminoto kepada Soekarno :
“Pak Tjokro mengajarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan citacita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku.”

Walaupun didikan Tjokroaminoto tidak di dominasi oleh dominan langsung, tetapi tjokroaminoto menghidupkan pikiran Soekarno menggunakan buku – buku yang diberikan kepadanya. Buku – buku yang dibacanya banyak yang merupakan karangan asing. Seperti buku karangan Thomas Jefferson, Karl Marx, Friedrich Engles, Lenin J.J Rousseau dan masih banyak lagi. Kehidupan soekarno kala itu ia habiskan untuk mebaca, berbeda dengan anak seumurannya kala itu yang dominan menghabiskan waktunya untuk bermain.
            Bukan hanya itu saja, kehidupan Soekarno pada saat tinggal di rumah Tjokroaminoto juga diwarnai dengan kesempatan beliau bertemu dengan orang – orang hebat yang dekat dengan Tjokroaminoto pada saat itu. Banyak dari pemimpin dari partai lain atau pemimpin cabang Sarekat Islam datang bertamu ke kediaman Tjokroaminoto kala itu. Dan momen itu pun tidak di sia – siakan Soekarno begitu saja, hal itu dapat terlihat dari kutipan berikut ini :
“Disaat inilah aku bertanya pelahan, "Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?", "Anak ini sangat ingin tahu," senyum Pak Tjok, kemudian menambahkan, "De Vereenigde Oost Indische Compagnie menyedot — atau mencuri— kira kira 1800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag. "Apa yang tinggal di negeri kita?" kali ini aku bertanya lebih keras sedikit. "Rakyat tani kita yang mencucurkan keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari," kata Alimin, yaitu orang yang memperkenalkanku kepada Marxisme. "Kita menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di antara bangsabangsa," sela kawannya yang bernama Muso. "Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki keadaan dengan mengajukan mosimosi kepada Pemerintah," kata Pak Tjok menerangkan dan kelihatan senang karena mempunyai murid yang begitu bersemangat.”

Soekarno dalam H.B.S
            H.B.S mempunyai 300 orang murid dan hanya 2 murid saja yang merupakan Inlanders, Soekarno salah satunya. Hal ini tentunya membuatnya dikelilingi oleh para bangsa belanda yang tentunya tidak suka dengannya.
            Bisa dibilang, perlakuan anak – anak belanda kala itu sangat buruk terhadap Soekarno. Tak jarang Soekarno pun baku hantam dengan anak – anak belanda kala itu. Dan bahkan hamper setiap hari Soekano pulang babak belur.
            Perlakuan anak – anak belanda terhadap Soekarno kala itu tidak membuat semangat mencari ilmu Soekarno kala itu menjadi surut. Dan Bahkan bisa dikatakan, Soekarno merupakan anak yang cukup berprestasi kala itu, walaupun hal itu tidak mendapat pengakuan yang cukup di mata orang Belanda. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut :
“Di tahun kedua kami disuruh menggambar kandang anjing. Sementara yang lain masih mengukurukur dan menaksirnaksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang yang lengkap, di dalamnya seekor anjing yang dirantai dan sepotong tulang. Guru perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh kelas. Ia mengatakan, "Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat nilai yang setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka yang paling tinggi itu? Tidak.”

Soekarno dengan Perkumpulannya
            Indonesia, tidak terlepas Surabaya, kala itu merupakan daerah yang dihuni oleh kaum pribuma dan kaum penjajah. Hal tersebut menjadikan terbentuknya dinding pemisah peradaban yang kasap mata kala itu. Dalam kutipan buku berikut terlihat bagaimana perbedaan kehidupan antara kaum belanda dengan kaum pribumi :
“Aku berjalanjalan seorang diri dan merenungkan tentang apa yang sedang berputar dalam otakku. Satu jam lamanya aku berdiri tak bergerak di atas jembatan kecil yang melintasi sungai kecil dan memandangi iringiringan manusia yang tak hentihentinya. Aku melihat rakyat tani dengan kaki ayam berjalan lesu menuju pondoknya yang buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mencekam di atas kereta terbuka yang ditarik oleh dua ekor kuda yang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulit putih kelihatan bersih bersih,sedang saudarasaudaranya yang berkulit sawo matang begitu kotor, badannya berbau, bajunya compangcamping, anakanak mereka jorokjorok.”

            Hal ini menjadikan Soekarno menaruh prihatin yang amat besar terhadap bangsanya dan menaruh kebencian yang amat dalam terhadap kaum penjajah. Dan hal inilah yang merupakan bibit nasionalisme yang amat besar yang tertanam dalam diri Soekarno. Bibit ini terus berkembang dan menancapkan akarnya kuat kuat ke dalam hatinya dan mengembangkan ranting serta dedaunnya yang lebat dalam pikirannya.
            Pada umur 16 tahun, soekarno mulai melangkahkan kakinya dalam dunia politik. Hal itu ditandai dengan pendirian perkumpulan politiknya yang pertama, yaitu Tri Koro Darmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci” dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial. Yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java[3]
            Dan dari kegiatannya dalam perkumpulannya inilah kecintaan Soekarno terhadap tanah air makin terpupuk padatnya. Begitu juga dengan pengetahuan politiknya. Dengan masuknya Soekarno dalam keanggotaan sebuah organisasi atau perkumpulan, Soekarno pun makin dikenal oleh banyak orang. Dan hal itu menjadikan Soekarno memiliki relasi yang cukup kuat.
            Dari paparan tulisan ini, kita dapat melihat bahwa benar adanya kalau Surabaya dikatakan sebagai “Dapur Nasionalisme”. Perbedaan perlakuan yang amat jelas terlihat antara kaum pribumi dan penjajah, kehidupannya bersama petinggi bangsa dan juga kehidupannya semasa sekolah adalah racikan yang pas untuk digodoknya semangat Nasionalisme dalam diri Soekarno.



[1] Tulisan ini merupakan rangkuman serta hasil bacaan dari buku “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams. Pembahasan lengkap dapat dilihat pada bab 4 di dalam buku tersebut. Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi pada sekolah politik tanggal 25 oktober 2016
[2] Hogere Burger School adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
[3] TKD berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni, 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan di Solo, yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali.

Tuesday 8 November 2016

Negeriku diambang Batas Kehancuran : Matinya Hati Nurani para Pemimpin



Baru – baru ini publik dihebohkan dengan adanya aksi besar – besaran umat islam untuk mendesak dipenjarakannya Basuki Tjahja Purnama atau kerap disapa Ahok. Aksi yang dihadiri oleh ratusan ribu umat islam, yang katanya juga hampir sepadan dengan aksi tahun 98. Aksi yang katanya ditunggangi oleh kepentingan politik semata. Yang pastinya, aksi yang penuh dengan pro kontra. Karna sejatinya jalan juang itu memanglah demikian terjalnya.

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritik aksi yang dilakukan oleh umat islam tersebut. Ataupun dibuat untuk hanya sekedar membangun opini yang baik/buruk tentang aksi tersebut. Tapi tulisan ini dibuat kala hati ini tersentil dengan sikap presiden yang dalam menghadapi aksi tersebut malah terkesan “lari” dari rakyatnya yang sedang membutuhkan sosok sang “ayah”.

Kala itu pastinya publik sedang ramai – ramainya mengikuti “live report” tentang aksi yang diikuti oleh ulama ulama besar kala itu. Banyak pemberitaan yang berseliweran baik di media telivisi maupun media elektronik lainnya. Mulai dari aksi yang berlangsung damai, orasi – orasi yang disampaikan oleh tokoh – tokoh penting, hingga pada kerusuhan yang identic dipersembahkan oleh kaum provokator. Namun ada pemberitaan yang menggelitik atau bahkan menusuk hati ini. Yaitu kala mengetahui bapak nomor satu di Indonesia “lari” dari massa aksi yang kala itu sudah memenuhi area depan istana.

Kala itu presiden menghindar dari kejaran massa aksi dilandaskan akan pengecekan salah satu proyek. Wajar saja, menurut salah satu media berita online presiden kita ini dijuluki sebagai “presiden pertama di dunia yang mengecek detil proyeknya”. Meskipun seharusnya atas dasar alasan apapun tindakan presiden ini tidak bisa dibenarkan. Mungkin terkecuali atas dasar alasan dukacita (padahal massa aksipun sedang berdukacita akan permasalahan yang mereka hadapi).

Peristiwa absennya presiden untuk menemui rakyat yang telah susah payah mendatanginya inipun bukan hanya terjadi sekali. Sedikit membuka luka lama, kala 20 Oktober mahasiswa yang hendak bertemu sang “bapak” namun mendapat penolakan dari pihak istana. Naasnya, ternyata presiden kala itu ada di dalam Istana dan malamnya presiden melakukan pertemuan dengan beberapa kepala daerah.

Entah fenomena apa yang terjadi di negeri tercinta ku ini. Ada rakyatnya yang sedang melarat namun kekayaan alamnya terus dibawa ke dunia barat. Ada pedang kecil yang sedang berebut lapak dengan satpol PP namun ada juga kaum kapitalis yang berebut batu bara, minyak bumi bahkan proyek tanah yang mengapung diatas laut. Dan bahkan keadaan negeri ini diperparah juga dengan matinya hati nurani para pemimpin kita, tak terlepas presiden kita.

Entah sampai kapan fenomena ini terus berlanjut. Entah sampai kapan pembungkaman serta penolakan aspirasi rakyat akan berlanjut. Ini semua tak ubahnya sebuah gunung yang akan meletus. Ia meletus karena lubang kepundannya tersumbat, ia meletus karena tidak ada jalan bagi kekuatan – kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Sama halnya dengan kondisi bangsa kita sekarang ini. Mungkin suatu saat hal serupapun akan terjadi jika kondisi ini terus berlanjut. Dan diri inipun terus berharap dan berdoa semoga hal itu tidak terjadi.

Memang mencintai Indonesia itu sulit. Aku harus mencintai segala sesuatu yang terkandung didalamnya. Tanahnya, airnya, keberagamannya bahkan hingga luka – lukanya. Dan kini aku tersadarkan bahwa negeriku diambang batas kehancuran. Hancur karena matinya hati nurani para pemimpin.