Tuesday 8 November 2016

Negeriku diambang Batas Kehancuran : Matinya Hati Nurani para Pemimpin



Baru – baru ini publik dihebohkan dengan adanya aksi besar – besaran umat islam untuk mendesak dipenjarakannya Basuki Tjahja Purnama atau kerap disapa Ahok. Aksi yang dihadiri oleh ratusan ribu umat islam, yang katanya juga hampir sepadan dengan aksi tahun 98. Aksi yang katanya ditunggangi oleh kepentingan politik semata. Yang pastinya, aksi yang penuh dengan pro kontra. Karna sejatinya jalan juang itu memanglah demikian terjalnya.

Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkritik aksi yang dilakukan oleh umat islam tersebut. Ataupun dibuat untuk hanya sekedar membangun opini yang baik/buruk tentang aksi tersebut. Tapi tulisan ini dibuat kala hati ini tersentil dengan sikap presiden yang dalam menghadapi aksi tersebut malah terkesan “lari” dari rakyatnya yang sedang membutuhkan sosok sang “ayah”.

Kala itu pastinya publik sedang ramai – ramainya mengikuti “live report” tentang aksi yang diikuti oleh ulama ulama besar kala itu. Banyak pemberitaan yang berseliweran baik di media telivisi maupun media elektronik lainnya. Mulai dari aksi yang berlangsung damai, orasi – orasi yang disampaikan oleh tokoh – tokoh penting, hingga pada kerusuhan yang identic dipersembahkan oleh kaum provokator. Namun ada pemberitaan yang menggelitik atau bahkan menusuk hati ini. Yaitu kala mengetahui bapak nomor satu di Indonesia “lari” dari massa aksi yang kala itu sudah memenuhi area depan istana.

Kala itu presiden menghindar dari kejaran massa aksi dilandaskan akan pengecekan salah satu proyek. Wajar saja, menurut salah satu media berita online presiden kita ini dijuluki sebagai “presiden pertama di dunia yang mengecek detil proyeknya”. Meskipun seharusnya atas dasar alasan apapun tindakan presiden ini tidak bisa dibenarkan. Mungkin terkecuali atas dasar alasan dukacita (padahal massa aksipun sedang berdukacita akan permasalahan yang mereka hadapi).

Peristiwa absennya presiden untuk menemui rakyat yang telah susah payah mendatanginya inipun bukan hanya terjadi sekali. Sedikit membuka luka lama, kala 20 Oktober mahasiswa yang hendak bertemu sang “bapak” namun mendapat penolakan dari pihak istana. Naasnya, ternyata presiden kala itu ada di dalam Istana dan malamnya presiden melakukan pertemuan dengan beberapa kepala daerah.

Entah fenomena apa yang terjadi di negeri tercinta ku ini. Ada rakyatnya yang sedang melarat namun kekayaan alamnya terus dibawa ke dunia barat. Ada pedang kecil yang sedang berebut lapak dengan satpol PP namun ada juga kaum kapitalis yang berebut batu bara, minyak bumi bahkan proyek tanah yang mengapung diatas laut. Dan bahkan keadaan negeri ini diperparah juga dengan matinya hati nurani para pemimpin kita, tak terlepas presiden kita.

Entah sampai kapan fenomena ini terus berlanjut. Entah sampai kapan pembungkaman serta penolakan aspirasi rakyat akan berlanjut. Ini semua tak ubahnya sebuah gunung yang akan meletus. Ia meletus karena lubang kepundannya tersumbat, ia meletus karena tidak ada jalan bagi kekuatan – kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Sama halnya dengan kondisi bangsa kita sekarang ini. Mungkin suatu saat hal serupapun akan terjadi jika kondisi ini terus berlanjut. Dan diri inipun terus berharap dan berdoa semoga hal itu tidak terjadi.

Memang mencintai Indonesia itu sulit. Aku harus mencintai segala sesuatu yang terkandung didalamnya. Tanahnya, airnya, keberagamannya bahkan hingga luka – lukanya. Dan kini aku tersadarkan bahwa negeriku diambang batas kehancuran. Hancur karena matinya hati nurani para pemimpin.
  

No comments:

Post a Comment