Sunday 18 December 2016

Demokrasi Diabetes

Pesta demokrasi atau pilkada yang tengah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya Ibukota Negara Indonesia, yaitu Jakarta membawakan berbagai kesan tersendiri yang melekat dalam benak masyarakat. Serba – serbi pilkada saat ini bertebaran dalam berbagai sudut ibukota. Dan tentunya, serba – serbi demokrasi saat ini tumbuh subur dalam benak masyarakat.
Mengingat kata demokrasi, sebenarnya apa itu demokrasi ? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat.
Dan kembali kepada persoalan pesta demokrasi yang saat ini sedang berlangsung, malam kemarin (15 desember 2016) telah diadakan dialog kandidat cagub dan cawagub DKI Jakarta. Dialog kandidat itu disiarkan disalah satu media televisi swasta. Namun sangat disayangkan, yang menghadiri dialog tersebut hanya pasangan nomor urut 2 dan 3, namun tidak dihadiri oleh pasangan nomor urut 1. Dan menurut salah satu media elektronik, absennya pasangan nomor urut 1 adalah karena bukan menjadi keharusan untuk menghadiri dialog yang diadakan bukan oleh KPUD.
Tidak seperti dialog – dialog sebelumnya, kali ini penulis menyaksikan dialog tersebut tidak melalui media televisi atau media lainnya, tetapi penulis mendapat kesempatan untuk menyaksikan dialog tersebut secara langsung. Dialog yang dimoderatori oleh presenter yang sudah cukup terkenal, yaitu Rosi, berjalan cukup dinamis dan interaktif.
“Perang antara gagasan dengan pengalaman” yang terjadi dalam dialog tersebutpun menyajikan berbagai celah yang patut untuk kita cermati lebih dalam. Mengingat perang ini adalah perang untuk memperebutkan kursi DKI satu demi terwujudnya kemakmuran rakyat Jakarta. Namun, tulisan ini bukanlah tulisan yang akan membahas terkait seberapa jauh kesiapan para calon tersebut untuk memimpin. Atau membahas bobot dari berjalannya dialog tersebut.
Karena penulis berada dalam atmosfer diantara kedua kubu pendukung pasangan calon, penulis mendapat kesempatan untuk mencicipi “bumbu pemanis” demokrasi yang terjadi dalam atmosfer tersebut. Terdengar berbagai hiruk pikuk serta semangat masing – masing pendukung calon demi memeriahkan salah satu “agenda” pesta demokrasi tersebut. Tak jarang, pasukan pendukung masing – masing calon meneriakkan yel – yel untuk menambah semangat serta memperpanas dinamika perjalanan perang intelektual tersebut.
Begitulah bumbu pemanis demokrasi. Menjadikan apa yang disajikan oleh dapur demokrasi menjadi suatu sajian yang memiliki cita rasa. Namun, lazimnya makanan yang memiliki cita rasa yang amat manis dikarenakan banyaknya bumbu pemanis yang digunakan, orang yang mengkonsumsinyapun dapat terkena penyakit diabetes dikarenakan kandungan rasa manis (gula) yang ada dalam sajian tersebut.
Dan inilah yang penulis lihat kala berjalannya agenda pesta demokrasi malam itu. Tak jarang, fanatisme ataupun isme – isme yang lainnya membuat para pasukan pendukung masing – masing calon mengeluarkan perkataan yang tidak seharusnya dilontarkan dalam konstelasi budaya demokrasi ini. Lebih jauh lagi, dalam bahasa gaul sekarang ini, ada pendukung yang malah “baper” dan terkesan sinis ketika pasangan yang tidak didukungnya memaparkan gagasannya.
Ada yang saling melontarkan ejekan seperti “reshuffle” (menyindir anies), ada juga yang melontarkan ejekan “penggusur” (mengejek ahok) dan banyak lainnya bumbu pemanis demokrasi yang pada akhirnya terkesan berlebihan. Bumbu pemanis yang berlebihan inilah yang bisa dikatakan menjadikan demokrasi menjadi demokrasi yang “diabetes”.
Demokrasi yang didalamnya dinodai oleh hal – hal yang tidak seharusnya berada didalamnya. Jika memang argumentasi yang keluar dalam demokrasi tersebut adalah argumentasi yang berada ada koridornya, rasanya demokrasi akan tumbuh dengan amat subur. Tapi benar adanya, kalau demokrasi kita sekarang ini sekarang tengah diciderai. Dicederai oleh bumbu pemanis demokrasi yang berlebihan.
Dan sedikit mengingat pesta demokrasi yang sekarang inipun tengah berjalan dalam kampus hijau tercinta. Pesta demokrasi awalnya berjalan cukup adem ayem, bahkan terkesan kekurangan “bumbu pemanis” demokrasi. Namun, baru – baru ini terdengar sedikit kabar yang cukup menarik dan terkesan membawa hawa yang cukup panas. Yaitu salah satu kabar yang datang dari salah satu fakultas yang identik dengan kata “kapital”. Yahhh… semoga saja demokrasi dikampus bahkan di negeri ini tidak menjadi demokrasi diabetes.

No comments:

Post a Comment